MinumanKhas Yogyakarta. Beras kencur, oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai minuman yang selain menyegarkan juga meningkatkan stamina tubuh. Beras kencur terbuat dari beras yang direndam dalam air, ditiriskan, terus ditumbuk sampai halus. Kencur yang sudah dikupas kemudian ditumbuk dan dicampur dengan beras yang telah halus.
Makanan dan minuman tradisional Yogyakarta telah lama ada dan digemari oleh masyarakat dengan resep spesifik yang diwariskan turun-temurun. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Makanan Khas Yogyakarta Gudeg, merupakan makanan yang paling dikenal dari Yogyakarta. Cita rasa gudeg manis dan gurih. Gudeg berasal dari bahasa Belanda gut dag yang berarti cukup bagus atau enak. Begitu populernya masakan ini, sampai-sampai Yogyakarta dijuluki Kota Gudeg. Gudeg dibuat dari nangka muda yang dikupas, diiris-iris lalu direbus sampai masak. Santan, bawang merah, bawang putih, laos, kemiri, ketumbar, daun salam, dan garam dicampurkan ke dalam nangka tersebut. Dimasak lagi sampai kering dan berwarna kecokelatan. Warna cokelat dapat juga dibuat dengan memasukkan daun jati ke dalam masakan. Untuk menghasilkan rasa yang khas digunakanlah arang dari batok kelapa untuk pemanasannya, sehingga panas yang dihasilkan bisa merata dan tahan lama. Dibutuhkan pemanasan lima sampai enam jam untuk menghasilkan gudeg yang berkualitas dan tahan lama. Nasi uduk, disebut juga nasi gurih. Biasanya, nasi uduk dihidangkan pada upacara kenduri dan dibagi-bagikan dengan wadah dari daun pisang. Nasi uduk dibuat dari beras yang sudah dicuci bersih, dikukus sampai setengah matang, kemudian dicampur dengan santan dan daun salam. Lantas nasi uduk dikukus lagi sampai masak. Mayoritas nasi uduk disajikan dengan lauk ingkung ayam. Thiwul, merupakan makanan pokok sebagian kecil penduduk Gunung Kidul. Thiwul terbuat dari ketela pohon yang dijemur sampai kering, ditumbuk sampai halus dan disaring, diberi sedikit air dan dibuat bulatan kecil-kecil lalu dikukus sampai masak. Biasanya thiwul dihidangkan dengan sayur tempe. Growol, merupakan makanan pokok dari Kulon Progo. Growol terbuat dari ketela pohon yang sudah dikupas, dicuci, terus direndam dalam air selama dua sampai tiga hari. Setelah lunak, ia diangkat, dicuci bersih, dan ditiriskan. Sesudah air mengering, ia dicincang sampai lumat, baru dikukus hingga masak. Lazimnya, growol dicetak dengan alas daun pisang. Growol dimakan dalam bentuk irisan dengan sayur lodeh. Lauknya tempe benguk yang sudah dibacem. Makanan ini dapat ditemukan di Pasar Sentolo. Nasi jagung, merupakan makanan pokok sebagian kecil penduduk di lereng atas Gunung Merapi. Jagung yang sudah kering direndam dalam air yang telah diberi kapur selama setengah jam. Lantas jagung ditiriskan dan ditumbuk sampai halus. Setelah menjadi tepung, jagung dikukus sampai masak. Biasanya hidangan ini disajikan bersama sayur lombok dan ikan asin. Minuman Khas Yogyakarta Beras kencur, oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai minuman yang selain menyegarkan juga meningkatkan stamina tubuh. Beras kencur terbuat dari beras yang direndam dalam air, ditiriskan, terus ditumbuk sampai halus. Kencur yang sudah dikupas kemudian ditumbuk dan dicampur dengan beras yang telah halus. Selanjutnya diberi air secukupnya, terus disaring. Minuman ini dihidangkan dengan diberi gula jawa atau gula pasir dan sedikit jeruk nipis. Beras kencur cocok diminum sehabis berolah raga. Wedang secang, yang berwarna merah merupakan minuman kesukaan Sri Sultan HB IX. Minuman ini dapat menjaga kesehatan. Badan yang masuk angin, bila minum wedang secang hangat, bisa bugar kembali. Wedang secang terbuat dari serutan kayu secang, dua lembar daun cengkih yang sudah kering, irisan kulit pohon kayu manis, merica putih, daun serai, cabe rawit, dicampur dengan jahe yang sudah dibakar dan dipukul-pukul sampai gepeng. Semua bahan dimasukkan ke dalam kendil tanah liat, terus dipanaskan dengan air sampai mendidih. Setelah disaring, wedang secang dihidangkan dengan gula batu. Di Makam Imogiri, bahan ramuan wedang secang dijual sebagai oleh-oleh bagi para peziarah. Dawet, merupakan minuman pelepas dahaga yang cukup populer di Yogyakarta. Salah satu unsur dawet adalah cendol. Untuk membuat cendol, panaskan tepung beras hingga mendidih dan tuang dengan saringan ke dalam baskom yang berisi air dingin. Tepung beras yang jatuh ke dalam air dingin akan mengental membentuk cendol. Masukkan cendol ke dalam mangkuk, tambahkan santan kelapa dan sirup gula jawa. Untuk menambah sedap, tambahkan daun pandan wangi ketika membuat sirup gula kelapa. Di pasar tradisional masih kita temukan penjual dawet yang menjajakan dagangannya dengan memakai tenggok, wadah besar dari anyaman bambu.
  1. Վезοկиሀ мυሶеβерεсዬ стух
  2. Апсիсаνоζι едሐснαшаւ
  3. ሷሹуሾուኗе цըβዝтрιበιյ ፗокυሚоռօ
Yuksimak informasi selengkapnya dari masing-masing rumah adat Jawa Tengah di bawah ini: 1. Rumah Joglo. Rumah adat Jawa Tengah yang sudah populer dan banyak dikenal ialah Joglo. Rumah joglo kabarnya dibangun untuk kalangan menengah ke atas. Bahkan, di beberapa daerah, rumah adat ini dikhususkan untuk para bangsawan. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota pendidikan sekaligus dikenal sebagai kota budaya memiliki beragam kebudayaan tradisional salah satunya adalah upacara adat yang hingga saat ini masih sering dijumpai di beberapa daerah di Yogyakarta. Beberapa jenis upacara adat yang terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain sebagai berikut. Upacara Adat Sekaten Setelah Raden Patah dilantlik menjadi sultan pertama Kerajaan Demak, atas anjuran Wali Sanga didirikanlah Masjid Besar Demak yang selesai dibangun pada tahun 1408. Saat itu, penyebaran agama Islam tidak banyak mengalami kemajuan. Kemudian muncul gagasan dari Sunan Kalijaga untuk menyelenggarakan keramaian menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Pada bulan Rabiulawal dibunyikanlah gamelan di halaman masjid agar rakyat mau masuk ke kompleks Masjid Besar. Sejak seminggu sebelum peringatan Maulid, diselenggarakan keramaian. Secara terus-menerus gamelan ditabuh disertai dengan dakwah agama. Beberapa lagu gamelan digubah oleh Sunan Giri dan Sunan Kalijaga. Mendengar bunyi gamelan yang merdu, rakyat berbondong-bondong menyaksikan dari dekat. kemudian menuju pelataran masjid. Para wali memanfaatkan keramaian tersebut sebagai ajang berdakwah tentang keluhuran agama Islam. Banyak yang tertarik dan kemudian masuk Islam. Mereka yang masuk Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat, istilah Arabnya adalah syahadatain. Lidah orang Jawa mengucapkannya sebagai sekaten. Orang yang telah mengucapkan syahadat berarti sudah resmi masuk Islam dan untuk menyempurnakan keislamannya lalu disunat. Pada malan 12 Rabiulawal, Sultan keluar dari keraton menuju Masjid untuk mendengarkan riwayat hidup Nabi. Pada tengah malam, Sultan kembali ke keraton beserta gamelan sekaten pertanda berakhirnya perayaan sekaten. Pada pemerintahan Sultan Agung, tradisi garebeg mulud disertai pisowanan garebeg di Sitihinggil. Acara tersebut diakhiri dengan wilujengan nagari berupa sesajian gunungan untuk kenduri di Masjid Agung. Sedekah dari raja untuk rakyat berupa gunungan inilah yang kemudian menjadi rebutan masyarakat karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak bala agar hasil pertanian tidak diserang hama penyakit. Selain garebeg mulud diadakan pula garebeg syawal untuk merayakan Idul Fitri dan garebeg besar untuk merayakan Idul Adha. Tradisi perayaan sekaten ini ditetapkan menjadi tradisi resmi sejak kerajaan pindah dari Demak ke Pajang, dari Pajang pindah ke Mataram, lalu ke Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, ditabuhlah dua gamelan sekaten, yaitu Kyai Gunturmadu yang bermakna anugerah yang turun ditempatkan di bangsal Pagongan Selatan dan Kyai Nogowilogo yang bermakna lestari dan menang perang ditempatkan di bangsal Pagongan Utara. Upacara Adat Labuhan Dalam kepercayaan Jawa, setiap tempat mempunyai penguasa gaib berupa makhluk halus penunggu. Gunung Merapi yang terletak di utara Kota Yogyakarta diyakini ditunggu oleh makluk halus bernama Eyang Sapujagad. Samudra Indonesia yang biasa disebut Laut Selatan terletak di selatan Kota Yogyakarta ditunggu oleh wanita cantik jelita bernama Kanjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati sebagai raja Mataram berupaya menjaga keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ia menjalin komunikasi dengan kedua makhluk halus tersebut. Salah satu bentuk komunikasinya adalah dengan bersemadi di tempat-tempat tersebut. Ketika Panembahan Senopati merasa sudah saatnya mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pajang, ia bertapa di Laut Selatan. Sementara itu, pamannya, yaitu Ki Juru Mertani, bertapa di Gunung Merapi. Untuk menghormati ikatan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram penerus Panembahan Senopati, maka setiap tahun diadakan labuhan di Pantai Parangtritis. Jika kewajiban itu diabaikan, terdapat kepercayaan bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan murka dengan mengirim tentara jin untuk menyebarkan penyakit dan berbagai musibah yang akan menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan. Namun, jika labuhan tetap dilaksanakan, maka Kanjeng Ratu Kidul akan memberikan perlindungan dan bantuan ke Mataram. Labuhan ini sudah menjadi upacara adat Keraton Mataram sejak abad ke XVII. SeteIah Perjanjian Gianti tahun I755 yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan KesuItanan Yogyakarta, maka tradisi labuhan dilakukan oleh dua kerajaan Jawa tersebut. Labuhan pertama kali di Kesultanan Yogyakarta diadakan sehari setelah penobatan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono I tahun I755. Tradisi ini berlangsung sampai Sultan Hamengkubuwono ke VIII. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono ke IX, labuhan diadakan setelah ulang tahun Sultan. Kini, di masa Sultan Hamengkubuwono ke X, labuhan dilaksanakan seperti dulu lagi, yaitu sehari sesudah penobatannya menjadi raja. Labuhan diadakan setiap tahun pada tanggal 30 bulan Rejeb karena Sultan Hamengkubuwono X dinobatkan pada hari Selasa Wage tanggal 29 Rejeb tahun Wawu 1921 atau 7 Maret 1989. Berikut ini prosesi labuhan Sultan Hamengkubuwono X. Setibanya barang-barang labuhan atau sesaji di Parangkusumo, rombongan abdi dalem memasuki kompleks berpagar yang di dalamnya terletak Sela Gilang. Di atas batu inilah dulu Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul mengadakan pertemuan. Tempat itu diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul. Juru kunci yang memimpin pelaksanaan upacara membakar kemenyan, kemudian menanam kuku, rambut, dan pakaian bekas Sultan Hamengkubuwono X di pojok kompleks. Juru kunci membakar kemenyan lagi dan mengasapi ketiga ancak yang berisi barang labuhan lalu berangkat ke pantai untuk melabuhnya. Sekitar 10 langkah dari garis pantai, juru kunci duduk bersila menghadap ke laut melakukan sembah ke Kanjeng Ratu kidul sambil mengucapkan doa permohonan, ”Hamba mohon permisi, Gusti Kanjeng Ratu Kidul. Hamba memberikan labuhan cucu Paduka lngkang Sinuwun Kanjeng Sultan yang ke X di Ngayogyakarta Hadiningrat. Cucu paduka mohon pangestu, mohon keselamatan, mohon panjang usia, kemuliaan kerajaan, keselamatan negara di Ngayogyakarta Hadiningrat.” Ketiga ancak segera dibawa ke tengah laut untuk dilabuh. Ancak paling depan untuk dipersembahkan kepada Kanjeng Ratu Kidul, raja dari semua makhluk halus di Laut Selatan. Ancak kedua dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menjabat sebagai patih Kanjeng Ratu Kidul, dan ancak ketiga dipersembahkan kepada mBok Roro Kidul, pembantu kedua. Masyarakat yang menghadiri acara labuhan biasanya beramai-ramai memperebutkan sebagian dari benda labuhan yang dihanyutkan ombak ke pantai. Menurut kepercayaan, barang-barang yang masih baru akan hanyut ke dalam laut karena dipakai oleh Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan barang-barang bekas seperti baju bekas Sultan dan bunga bekas sesaji akan kembali ke pantai. Menurut kepercayaan, barang-barang yang kembali terdampar di pantai tersebut mempunyai kekuatan gaib karena dikirim kembali oleh Kanjeng Ratu Kidul untuk mengatasi segala gangguan dan penyakit. Beberapa orang menjadikannya sebagai jimat. Jimat adalah suatu benda yang difungsikan sebagai pusaka dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk membantu pemiliknya menangkal gangguan alam. Yang mendapatkan benda-benda labuhan berharap akan beroleh kesejahteraan dan keberuntungan hidup. Upacara Adat Bekakak Bekakak disebut juga saparan bekakak. Bekakak berarti korban penyembelihan manusia atau hewan. Hanya saja, bekakak yang disembelih dalam upacara ini hanya tepung ketan yang dibentuk seperti pengantin laki-laki dan perempuan sedang duduk. Sebelum diarak untuk disembelih, pada malam sebelumnya diadakan upacara midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut kepercayaan masyarakat, pada malam menjelang perkawinan, para bidadari turun ke bumi untuk memberi restu. Orang-orang begadang semalam suntuk demi menyambut kedatangan para bidadari tersebut. Pada siang hari, "pengantin" diarak dari Balai Desa Ambarketawang, Sleman, Yogyakarta ke Gunung Gamping. Ini adalah tempat Kyai Wirasuta, abdi dalem Sri Sultan HB I muksa, hilang tanpa bekas. Kyai Wirasuta adalah abdi dalem penongsong, abdi dalem pembawa payung ketika Sri Sultan HB I bepergian. Ketika Sultan pindah dari Ambarketawang ke keraton yang baru, abdi dalem ini tidak ikut pindah dan tetap tinggal di Gamping. Ia menjadi cikal-bakal penduduk di sana. Ia tinggal di dalam gua di bawah Gunung Gamping tersebut. Suatu hari, Jumat Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan Sapar, menjelang purnama terjadi musibah yang menimpa Kyai Wirasuta sekeluarga. Gunung Gamping yang didiami runtuh. Kyai Wirasuta sekeluarga beserta hewan kesayangannya berupa landak, gemak, dan merpati terkubur di reruntuhan. Sri Sultan HB I segera memerintahkan untuk mencari jenazah mereka, tetapi tidak ditemukan. Maka Sultan memerintahkan para abdi dalem keraton supaya setahun sekali setiap bulan Sapar antara tanggal 10-20 untuk membuat selamatan dan ziarah ke Gunung Gamping dengan tujuan untuk mengenang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta sebagai abdi dalem yang loyal sampai akhir hayat. Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang penunggu Gunung adalah agar mereka tidak mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada masyarakat yang menambang batu gambing di sana. Upacara Adat Rebo Wekasan Rebo wekasan merupakan suatu upacara tradisional yang terdapat di Desa Wonokromo, Pleret, Bantul. Letaknya sekitar 10 km dari Kota Yogyakarta. Rebo wekasan berasal dari kata rebo dan wekasan yang berarti hari Rabu terakhir bulan Sapar. Pada tahun 1600, Keraton Mataram yang berkedudukan di Pleret sedang dilanda penyakit atau pageblug. Sultan Agung sebagai raja Mataram sangat prihatin. Ia pergi bersemadi di Masjid Soko Tunggal di Desa Kerton. Dalam semadinya ia mendapat petunjuk dari Tuhan untuk membuat penolak bala guna mengusir wabah tersebut. Dipanggillah Kyai Sidik dari Wonokromo untuk membuat penolak bala. Jimat adalah penolak bala itu. Jimat tersebut berupa aksara Arab bertuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim sebanyak 124 baris dan dibungkus dengan kain mori putih. Oleh Sultan Agung, jimat tersebut direndam dalam bokor kencana dan diminumkan kepada orang yang sakit. Ternyata mereka sembuh. Semakin banyaklah orang yang datang meminta air tersebut. Lantaran tidak mencukupi untuk semua orang, maka Sultan Agung memerintah Kyai Sidik untuk membuang jimat tersebut ditempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong. Berduyun-duyunlah orang berkunjung ke tempuran tersebut untuk membasuh muka, mandi, dan berendam agar mendapat keberuntungan. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I, Kyai Muhammad Fakih dititahkan untuk membuat masjid pathok negoro di Desa Wonokromo dengan nama Masjid at-Taqwa. Awalnya masjid tersebut terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari anyaman daun alang-alang yang disebut welit. Karena keahliannya membuat welit maka masyarakat sekitar memanggilnya Kyai Welit. Dia juga meneruskan tradisi rebo wekasan pada Rabu terakhir bulan Sapar tahun 1754 atau 1837 M. Dia membuat kue lemper yang dibagikan ke masyarakat di sekitarnya. Menurutnya, kue lemper mengandung nilai filosofis. Kulit lemper dari daun pisang mengibaratkan segala hal yang dapat mengotori akidah, sehingga harus dibuang. Ketan ibarat kenikmatan duniawi. Isi lemper yang berupa daging cincangan ibarat kenikmatan akhirat. Jadi makan lemper bermakna bahwa orang yang ingin mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat harus bisa menghilangkan kotoran jiwa sehingga jadi bersih seperti lemper yang sudah dikupas. Peristiwa tersebut dianggap sebagai hari bersejarah bagi masyarakat Wonokromo sehingga diperingati setiap tahun. Upacara rebo wekasan dianggap sebagai pengingat bahwa telah terjadi musibah yang menelan banyak korban jiwa. Tradisi mengarak lemper diteruskan sampai sekarang dalam bentuk lemper raksasa sepanjang dua setengah meter dengan diameter setengah meter. Upacara Adat Siraman Kanjeng Kyai Jimat Upacara ini dimaksudkan sebagai bentuk pemuliaan terhadap benda-benda pusaka kerajaan yang mengandung nilai sejarah atau mempunyai nilai spiritual karena bertuah dan menyajikan persembahan makanan caos dahar berupa sesajen buat kereta pusaka Kanjeng Kyai Jimat diharapkan roh penunggu kereta memberikan keselamatan bagi keluarga keraton dan para kawula kerajaan. Acara ini diselenggarakan di museum kereta Pagedongan Rotowijayan, Keraton Yogyakarta. Biasanya, acara digelar pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon bulan Sura. Setelah diberi sesaji, kain penutup kereta dibuka untuk didorong dari tempatnya ke luar depan pintu Pagedogan. Bagian pertama yang dibersihkan adalah bagian depan kereta berupa patung putri duyung. Dilanjutkan bagian atap, terus ke belakang. Terakhir adalah bagian roda kereta. Asap dupa terus mengepul tiada henti menciptakan suasana magis. Seusai siraman, kereta Pusaka dikeringkan dengan kain lap. Perasan kain lap ditampung di dalam ember. Saat itulah, air perasan tadi menjadi rebutan masyarakat karena dipercaya mengandung kekuatan gaib untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Upacara Adat Nguras Enceh Enceh atau kong adalah gentong wadah air yang terbuat dari tanah liat. Ada empat buah enceh di halaman Supit Urang Istana Saptarengga, makam Sultan Agung. Dua buah enceh yang ada di sebelah timur menjadi wewenang Kasunanan Surakarta dan dua buah yang ada di sebelah barat menjadi wewenang Kesultanan Yogyakarta. Nama-nama enceh mulai dari timur ke barat adalah Nyai Siyem berasal dari negeri Siam atau Muangthai, Kyai Mendung berasal dari negeri Ngerum, Kyai Danumaya berasai dari Palembang, dan Nyai Danumurti berasal dari Aceh. Menurut abdi dalem Puralaya yang menjaga makam, enceh ini digunakan sebagai tempat wudu Sultan Agung ketika hendak menunaikan salat. Pada bulan Sura, hari Jumat Kliwon, banyak masyarakat yang mengikuti upacara pembersihan enceh. Mereka berebut mendapatkan air bekas cucian enceh. Ada juga yang caos dhahar dengan membawa kembang setaman dan membakar kemenyan. Mereka minta agar dikabulkan segala cita-citanya. Ada juga orang-orang tua yang membasuh mukanya dengan air enceh yang dipercaya dapat membuat awet muda dan menyembuhkan berbagai penyakit.
GambarGunung Berapi Beserta Penjelasannya. Bumi telah terbentuk sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu dan merupakan planet yang dihuni oleh berbagai jenis mahluk hidup. Gunung ini cukup sering erupsi diantaranya yaitu pada tahun , 1951, 1966, 1990, 2007, dan terakhir 2014 dengan korban jiwa mencapai ratusan hingga ribuan jiwa.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sangat kental akan budaya. Yogyakarta terkenal memiliki banyak sekali Wisata Budaya di Yogyakarta yang menarik banyak perhatian wisatawan karena hingga saat ini masih tetap dilestarikan. Jika berlibur ke Yogyakarta, rasanya belum lengkap jika tidak berkunjung ke sejumlah wisata budayanya. Nah, buat kamu yang tertarik untuk berwisata budaya di Jogya, berikut ini adalah daftar 10 Wisata Budaya di Jogya yang pantang untuk kamu lewatkan1. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat2. Tamansari3. Museum Ullen Sentalu4. Museum Sonobudoyo5. Museum Batik6. Candi Prambanan7. Kotagede8. Desa Wisata Tembi9. Museum Affandi10. Masjid Gedhe Kauman1. Keraton Ngayogyakarta budaya di Jogya yang pertama adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton ini sampai saat ini masih menjadi istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan menjadi ikon wisata di menjadi tempat tinggal Sultan Jogya, keraton ini juga memiliki kompleks yang diperuntukkan sebagai museum yang menyimpan berbagai koleksi milik Sultan Keraton sejak Zaman dahulu. Seperti gamelan, pusaka dan masih banyak lagi Ngayogyakarta Hadiningrat ini juga dikenal sebagai pusat dari museum kebudayaan Jawa yang ada di Yogyakarta serta menjadi panduan perkembangan budaya Jawa. Selain berkunjung ke museumnya, keraton ini juga sering diadakan kegiatan seni dan budaya pada waktu-waktu tertentu, seperti pertunjukan tari klasik yang biasanya dihelat pada hari Minggu. Hutan Pinus Pengger, Destinasi Hits Jogjakarta Bikin Seger Taman Sari Yogyakarta ~ Peninggalan Kerajaan Masa Lampau Yang Ramai Dikunjungi Wisatawan 2. budaya di Jogya selanjutnya adalah Tamansari. Wisata ini memang masih berhubungan juga dengan Kesultanan Yogyakarta pasalnya Tamansari dulunya menjadi tempat rekreasi bagi Keluarga Sultan dan seluruh kerabat ini merupakan peninggalan dari Sultan Hamengkubuwono I, dimana kamu bisa menemukan lokasi bangunan berupa Sumur Gemuling. Sumur ini merupakan bangunan bertingkat yang lantai bawahnya berada di bawah tanah. Dulunya Sumur Gemuling ini digunakan sebagai tempat ibadah oleh hanya sebagai tempat rekreasi dan beristirahat, Tamansari ini dulunya juga sering digunakan sebagai tempat persembunyian bagi kerabat dan keluarga Sultan saat mendapat serangan dari Museum Ullen Sentalu Ullen Sentalu juga menjadi salah satu lokasi wisata budaya di Jogya yang tak boleh kamu lewatkan. Museum ini merupakan museum swasta yang ddidirikan oleh Keluarga Haryono dan saat ini dikelola oleh Yayasan Ulating Ullen Sentalu ini didirikan pada tahun 1994 dan baru diresmikan 23 tahun kemudian pada 1 Maret 2017. Museum ini berlokasi di kawasan kaki Gunung Merapi, tepatnya di kawasan Taman Kaswargan di Kaliurang. Museum ini memiliki cerita tentang empat Keraton di Solo dan Yogyakarta pada masa Museum budaya di Jogya yang patut untuk kamu kunjungi selanjutnya adalah Museum Sonobodoyo. Sama halnya dengan Tamansari, museum ini juga berada di kawasan Keraton Yogyakarta, tepatnya di seberang barat Alun-alun Utara Sonobodoyo ini merupakan museum sejarah dan kebudayaan Jawa yang menyimpan berbagai koleksi yang berkaitan dengan budaya dan sejarah Jawa. Tak hanya itu, museum ini dianggap sebagai museum dengan koleksi yang paling lengkap, hal ini dikarenakan museum ini memiliki koleksi patung perunggu dari abad ke-8 dan keramik yang merasal dari jaman lain yang bisa kamu temukan di museum ini adalah berbagai macam bentuk wayang kulit dan senjata tradisional Jawa, seperti keris dan topeng. Hal menarik lain yang ditawarkan oleh Museum Sonobudoyo ini adalah pertunjukan wayang kulit yang diiringi dengan gamelan yang dihelat pada malam Museum Batik ini juga menjadi salah satu wisata budaya di Jogya yang menarik untuk dikunjungi. Museum ini merupakan museum batik pertama di Yogyakarta dan pernah mendapatkan penghargaan dari MURI pada tahun setidaknya koleksi seputar dunia batik, mulai dari berbagai jenis kain batik hingga berbagai peralatan membatik. Koleksi pralatan membatik yang bisa kamu temukan disini seperti canting tulis, canting cat, bahan warna tradisional dan malam batik. Tak hanya itu, kamu pun bisa melihat koleksi batik tertua yang dibuat di tahun Candi budaya di Jogya yang satu ini juga menjadi destinasi wisata utama saat berkunjungke Yogyakarta, yaitu Candi Prambanan. Candi Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Wamca Sanjaya dan telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh Prambanan ini berada di perbatasan antara Provinsi Yogyakarta dan Klaten di Jawa Tengah dan menjadi magnet bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Waktu terbaik untuk berkunjung ke Candi Prambanan adalah saat sore hari menjelang matahari terbenam dimana kamu bisa menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam diantara candid an pada malam harinya kamu bisa menikmati pertunjukan drama dan tari di Sendratari juga menjadi destinasi Wisata Budaya di Yogyakarta yang tak boleh kamu lewatkan begitu saja. Kotagede adalah sebuah kawasan yang berada di Yogyakarta dan menyimpan bayak kisah sejarah, terutama sejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Islam nama Kotagede karena dulunya kawasan ini merupakan sebuah desa kecil yang ditinggalkan oleh warganya dan menjadi hutan. Kemudian Ki Gede Pemanahan membangun kembali kawasan ini karena mendapatkan kekuasaan dari Sultan Hadiwijaya. Lalu kawasan ini semakin ramai dan munculah istilah Kotagede atau Kota kawasan Kotagede iin banyak ditemukan bangunan kuno yang usianya ratursan tahun yang menjadi saksi bisu berkembangnya kebudayaan Mataram pada abad ke-16. Tak hanya itu, kawasan Kotagede ini juga banyak ditemukan pengrajin perak dan batik yang bisa kamu Desa Wisata Wisata Tembi ini juga menjadi salah satu wisata budaya di Jogya yang menarik untuk dikunjungi. Desa Wisata Tembi ini berada di kabupaten Bantul, Yogyakarta dan menawarkan suasana pedesaan yang sangat kental dengan budaya kamu bisa belajar untuk membuat kesenian batik hingga belajar untuk membuat beberapa sajian tradisional Jogya seperti tempe dan sangon. Kegiatan yang ditawarkan di desa wisata ini terbilang cukup menarik dan tidak mudah untuk ditemukan di kawasan lain pastinya. Tak hanya belajar membuat berbagai kerajinan seperti batik dan tembikar, kamu pun bisa belajar untuk menanam padi di sawah, menangkap itik dan belut, naik dokar keliling desa hingga berlajar bermain Museum Affandi Budaya di Yogyakarta selanjutnya adalah Museum Affandi. Museum ini sebenarnya adalah tempat tinggal sekaligus studio milik Affandi yang merupakan seorang pelukis terkenal di museum ini kamu tentunya bisa menikmati lukisan karya Affandi dan karya pelukis lainnya. Karya seni yang disimpan di museum ini tentunya mampu membuat siapapun takjub karena keindahannya. Kamu pun bisa naik ke Menara dan melihat keseluruhan komplek bangunan museum ini. Jika sudah lelah menjelajah, kamu bisa bersantai sejenak di Café Loteng untuk makan sambil menikmati suasana disekitar Masjid Gedhe Budaya di Yogyakarta yang terakhir adalah Masjid Gedhe Kauman. Masjid ini juga berada dikompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan menjadi masjid Kesultanan yang sampai saat ini masih ini berlokasi di sebalah barat Alun-alun Yogyakarta dan didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dan Kyai Fatih Ibrahim Diponingrat. Masjid Gedhe Kauman ini juga menjadi simbol Kerajaan Islam Mataram di Yogyakarta. Tak hanya itu, masjid ini juga menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia karena telah berdiri sejak tahun 1773.
Sejarahdan Filosofi Rumah Adat Minangkabau Beserta Gambar dan Penjelasan. Tak hanya sebagai tempat tinggal, rumah adat Minangkabau juga berfungsi sebagai berbagai aktivitas yang dimiliki masyarakat Minang, termasuk upacara adat. x. Rumah adat Minangkabau atau biasa disebut rumah gadang menjadi salah satu identitas kebudayaan masyarakat Minang.
Pakaian Adat Yogyakarta – Pakaian adat yogyakarta lengkap beserta gambar dan penjelasannya filosofinya – Hallo gaes untuk kamu yang sudah pernah tinggal di jogja. tentu sudah mengetahui bahwa jogja adalah kota yang kental dengan budaya nya. Selain terkenal sebagai kota pelajar dan juga kota dengan sejuta tempat wisata yang bisa di kunjungi. Jogja juga sangat terkenal dengan wisata budaya dan kebudayaan yang tidak pernah lewat oleh jaman. Jogja sendiri adalah sebuah daerah istimewa yang memiliki sistem pemerintahan istimewa. Pemerintahan di Yogya masih menggunakan kesultanan dan masih bertahan hingga sekarang. Pakaian Adat Yogyakarta Kebudayaan yang kental di jogja bisa berupa tatakrama, keramahan, musik, pawai, dan juga baju selalu kental dengan nuansa jawa Yogyakarta yang sangat khas. Nah yang menrik adalah tentang pakaian adat yogyakarta yang bisa kita pelajari dan kita ketahui tanpa harus berkunjung ke sana. Karena pada artikel kali ini kami akan membahas tentang pakaian adat dari jogja yang bisa kamu ketahui sebagai bahan pembelajaran dan memperluas wawasan kamu tentang kebudayaan dari jogja. Minimal dari baju nya saja terlebih dahulu. Berikut adalah baju adat dari jogja yang wajib banget untuk kamu ketahui 1 Pakaian adat yogyakarta Busana Surjan Pakaian adat ini merupakan busana yang biasa di gunakan sebagai baju. Biasa di pakai oleh pria yogyakarta dan bagian bawahnya bisa menggunakan kain atau baisa di sebut dengan jari. Ketika menggunakan pakaian adat jogja ini, kita bisa menggunakan blankon sebagai bagian penutup kepala. Nama lain dari pakaian adat busana surjan ini adalah pakaian takwa Filosofi dari pakaian ini bisa di artikaln dari setiap bagian, seperti pada bagian kancing terdapat 6 yang melambangkan rukun iman. Dan 2 buah kancing yang ada di dada kiri itu menyimbolkan kalimat syahadat. Sehingga makna filosofi utama dari pakaian adat ini adalah mitos bornean yang dimana siapapun yang menggunakan pakaian adat ini secara lengkap maka akan mendapatkan ke stabilan perasaan dalam kehidupannya 2 Kebaya Yogyakarta Untuk pakaian adat kebaya yogyakarta adalah pakaian adat yang khusus di gunakan untuk wanita. Kebaya asal yogyakarta sangat memiliki ciri khas yang berbeda. Mulai dari corak, dan juga bahan yang berbeda dengan kebaya asal daerah lainnya. Karena bahan yang digunakan untuk mermbuahkebaya ini tidak di buat dari kain yang asal – asalan. Selain itu wanita juga harus menggunakan tatanan rambut yang khas dengan konde nya. Busana kebaya Jogja ini juga bisa menggambarkan tentang kehalusan dan kelemah lembutan yang harus di miliki oleh wanita yogyakarta. 3 Busana Kencongan Pakaian adat yang ke tiga adalah kencongan yang biasa digunakan ketika acara atau festival di yogyakarta. Busana ini memang di buat untuk anak laki – laki yang memang di sesuaikan dengan busana surjan yang biasa digunakan oleh orang dewasa. Model busana kencongan ini juga di lengkapi dengan beberapa aksesoris tambahan seperti ikat pinggang, blankong, dan juga selendang. 4 Sabukwala padintenan Busana adat yogyakarta yang ke empat adalah sabukwala padintenan yang bisa digunakan oleh anak – anak perempuan. Ini merupakan sebuah busana kebaya yang menggunakan kain batik di bagian bawahnya. Busana ini juga memiliki tambahan aksesosris seperti selendang, sabuk, dan juga menggunakan tusuk konde di bagian kepala. Biasanya pakaian adat ini di gunakan dalam acara – acara seperti festival, kelulusan, dan juga beberapa acara daerah lainnya 5 Busana Ageng Busana ageng merupakan pakaian adat yang hanya bisa digunakan secara resmi oleh para pejabat keraton. Busana ageng ini berbentuk sebuah perangkat adat yang berupa jas laken, dengan kerah baju berdiri. Sebagai tambahan untuk busana agung ini adalah sutera yang berwarna biru tua dengan panjang hingga mencapai bagian paha. Pada bagian bawah bisa menggunakan celana kain berwarna hitam. Dan juga topi dengan warna biru tua sepanjang 8 cm. Baca juga pakaian adat banten Itu dia pakaian adat khas yogyakarta yang bisa membuat kamu menjadi lebih paham tentang budaya yang ada di yogyakarta. Untuk mengetahui pakaian adat lainnya kamu bisa melihat di berandan tentang pakaian adat indonesia lengkap dengan penjelasan dan gambarnya Keyword Pakaian Adat Yogyakarta Ribuan data dan informasi terkait dengan kebudayaan tersedia disini. Explore lebih jauh informasinya untuk betapa kaya Daerah Istimewa Yogyakarta dan budaya adi luhurnya. Berikut ini jenis-jenis data yang tersedia di jogja budaya. Nilai-nilai Budaya Pengetahuan dan Teknologi Bahasa Adat Istiadat Tradisi Luhur Seni Benda Page 2 - Apa yang ada di benak Anda ketika pertama kali mendengar kata Yogyakarta? Sejarahnya yang kental, kuliner gudegnya yang menggoda selera, atau Malioboro sebagai surga belanja favorit para shopaholic? Tidak keliru. Yogya atau Jogja memang menyimpan daya tarik yang membuat siapa saja tersihir untuk kembali ke sana. Nah, bagi Anda yang berencana menghabiskan waktu liburan di Kota Pelajar yang satu ini, ada baiknya kenali dulu sejarah, tradisi dan budaya, serta daya tarik Yogyakarta agar momen liburan Anda nanti semakin juga Memiliki nama resmi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY, daerah ini merupakan provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa timur. Sesuai Namanya, Yogya yang berstatus istimewa memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri. Meski diperoleh sejak zaman kolonial sebelum Indonesia merdeka, status tersebut masih dipertahankan sampai sekarang, lho. Karena itulah, Yogyakarta juga disebut sebagai Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan sultan sebagai kepala pemerintahan setara gubernur. Tradisi dan Budaya Hingga saat ini, Yogyakarta masih lekat dengan berbagai tradisi dan budaya uniknya. Beberapa di antaranya bahkan diselenggarakan secara rutin setiap tahunnya. Nah, apa saja sih itu? - Upacara Sekaten Sekaten merupakan gelaran upacara adat yang cukup terkenal di Jogja. Upacara ini diselenggarakan setiap tanggal 5 Maulid, menjelang hari lahir Nabi Muhammad, di alun-alun utara Yogyakarta. Upacara ini berlangsung selama 7 hari. Umumnya tradisi ini juga dibarengi dengan adanya pasar malam Sekaten. - Grebeg Muludan Nah, menjelang perayaan Sekaten usai, upacara akan ditutup dengan Grebeg Muludan, yakni pada 12 Rabiul Awal tepat hari lahir Nabi Muhammad. Ritual ini ditandai dengan adanya gunungan tinggi yang tersusun dari beras ketan, makanan pokok, sayur, serta buah-buahan yang dikawal oleh 10 macam Bregada kompi prajurit keraton Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrirejo, Surakarsa, dan Bugis. Arak-arakan ini dimulai dari Istana Kemandungan, melewati Siti Hinggil dan Pagelaran, sampai berakhir di Masjid Agung. Gunungan yang sudah didoakan selanjutnya dibagikan kepada masyarakat dengan harapan agar mereka mendapat berkah. - Siraman Pusaka Upacara berikutnya yang masih rutin digelar di tanah Yogyakarta adalah Siraman Pusaka. Seperti Namanya, upacara ini diadakan untuk membersihkan segala macam benda pusaka yang terdapat di keraton kesultanan. Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Suro pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Beberapa pusaka yang terbilang penting bagi Keraton Yogyakarta antara lain tombak Ageng Plered, keris Ageng Sengkelat, dan kereta kuda Nyai Jimat. ** Aturan Unik di Yogyakarta Selain sejarah, tradisi, dan budayanya yang kaya, Yogyakarta ternyata memiliki aturan unik tak tertulis yang hingga saat ini masih dijalankan. Apa saja, sih, itu? - Tidak boleh mengenakan pakaian berwarna hijau di Parangtritis Konon, hijau adalah warna kesukaan Nyi Roro Kidul, sehingga siapa pun yang berkunjung ke Pantai Parangtritis diimbau untuk tidak mengenakan pakaian dengan warna hijau. Konsekuensi jika aturan ini dilanggar pun cukup seram, yakni tenggelam di laut. - Mengulek sambal menghadap ke selatan Untuk menghormati Nyi Roro Kidul, warga Gunungkidul sampai sekarang masih menerapkan ritual yang satu ini, lho; menghadap selatan ketika mengulek sambal. - Pengantin dilarang lewat perempatan Palbapang Menurut cerita, pengantin atau orang sakit yang nekat lewat perempatan Palbapang dengan tangan kosong akan mendapat celaka. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan membawa ayam hidup sebagai “tumbal”. Wah, ternyata banyak sekali tradisi dan cerita unik yang bisa kita gali dari Yogyakarta, ya. Menikmati kota ini tentu tidak cukup hanya dalam sehari. Untuk itu, percayakan keperluan akomodasimu pada Airy. Klik link untuk mendapatkan harga penerbangan termurah. Selamat berlibur! Selainsosok garuda, pada motif batik ini juga ada gambar kotak-kotak yang mewakili dari bentuk tahu, dimana Kabupaten Kediri sendiri merupakan penghasil tahu takwa. Selain itu, ada pula bulatan-bulatan sebagai penggambaran dari gethuk, dimana selain penghasil tahu, Kediri juga penghasil gethuk pisang. 5. Batik Kuda Kepang atau Kuda Lumping. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat beberapa macam rumah adat yang digunakan oleh masyarakatnya. Bentuk rumah adat di daerah ini tidak begitu berbeda dengan bentuk ataupun nama rumah adat yang terdapat di daerah Jawa Tengah, karena adanya keterikatan budaya Jawa yang terdapat di kedua daerah ini. Beberapa jenis rumah adat yang terdapat di Yogyakarta antara lain sebagai berikut. Rumah Adat Yogyakarta "Rumah Joglo" Rumah joglo adalah rumah tradisional Jawa yang paling sempurna. Bangunan ini mempunyai bentuk yang besar dan membutuhkan kayu yang lebih banyak dalam pembuatannya. Bentuk khas dari bangunan joglo adalah menggunakan blandar bersusun melebar ke atas yang disebut blandar tumpangsari. Bangunan tersebut mempunyai empat tiang pokok yang terletak di tengah yang disebut pula kerangka yang berfungsi sebagai penyiku atau penguat bangunan agar tidak bergeser posisinya yang disebut sunduk kili. Letak kerangka tersebut terletak di ujung sakaguru di bawah blandar. Apabila pada masing-masing sisi itu terdapat sunduk, maka sunduk keliling itu disebut koloran atau kendhit ikat pinggang. Bentuk bangunan joglo ini mempunyai ukuran bujur sangkar. Susunan rumah joglo biasanya dibagi tiga, yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendapa, ruang tengah atau ruang tempat pentas wayang ringgit yang disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang keluarga terdapat tiga buah sentong bilik sentong kiwo bilik kiri, sentong tengah bilik tengah, dan sentong tengen bilik kanan. Bagi kalangan bangsawan, biasanya di sebelah kiri dan kanan ruang keluarga ada bangunan kecil memanjang yang disebut gandok. Bangunan kecil tersebut mempunyai banyak kamar. Pendapa milik bangsawan selain sebagai tempat menerima tamu juga berfungsi sebagai tempat menggelar kesenian tradisional seperti tari-tarian. Para undangan yang menyaksikan duduk di sebelah kiri dan kanan pendapa, sedangkan pihak tuah rumah duduk dalam ruangan menghadap ke arah depan. Sentong kiwo dipergunakan untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat. Sentong tengah berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewi Sri atau dewi kesuburan sehingga disebut juga dengan pasren. Di dalam pasren terdapat genuk gentong yang terbuat dari tanah liat dan berisi sejimpit beras, kendi berisi air, juplak lampu minyak kelapa, lampu robyong, model burung garuda, paidon jambangan dari kuningan tempat membuang air ludah, dan loro blonyo, yaitu patung sepasang pengantin duduk bersila yang terbuat dari tanah liat atau kayu. Patung mempelai pria di sebelah kanan dan patung mempelai perempuan di sebelah kiri. Keduanya terletak di tengah dua buah paidon. Adapun sentong tengen untuk kamar tidur. Dalem atau ruang keluarga digunakan untuk hal yang bersangkut-paut dengan pembicaraan kalangan sendiri, merenungkan peristiwa atau pekerjaan lampau, memberikan nasihat kepada sanak keluarga, sampai kegiatan upacara adat yang sakral, yaitu puncak dari rangkaian upacara adat yang sebelumnya diselenggarakan di tempat lain. Peringitan dimanfaatkan untuk menerima tamu khusus. Ia juga digunakan untuk pertunjukan wayang kulit. Cerita yang dipilih biasanya terkait dengan perilaku manusia yang sarat dengan perbuatan tercela, sehingga memerlukan nasihat agar berbuat lebih baik di kemudian hari. Dalam perkembangannya, bentuk joglo mengalami perubahan-perubahan seperti joglo lawakan, joglo sinom, joglo jompongan, joglo pangrawit, joglo mangkurat, joglo hageng, dan joglo semar tinandhu. Rumah Limasan Rumah limasan adalah rumah tradisional yang banyak dibangun oleh masyarakat Yogyakarta. Rumah ini cukup sederhana dan tidak membutuhkan banyak biaya dalam pembuatannya. Limasan berasal dari kata limolasan yang berarti limabelasan. Perhitungan sederhana dalam pembuatan rumah limasan adalah dengan ukuran molo 3 m dan blandar 5 m. Molo adalah kerangka rumah paling atas yang bentuknya memanjang horizontal di ujung atap. Ibarat manusia, molo adalah kepalanya. Oleh karena itu sebelum molo dipasang, orang tidak boleh melangkahinya. Inilah bagian rumah yang dianggap paling keramat. Jika kita menggunakan molo 10 m, maka blandarnya harus berukuran 15 m. Dalam perkembangannya bangunan limasan mempunyai bentuk sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, muncul macam-macam limasan, seperti limasan lawakan, limasan gajah ngombe, limasan gajah njerum, limasan apitan, limasan klabang nyander, limasan pacul gowang, limasan gajah mungkur, limasan cere gancet. limasan apitan pengapit, limasan lambang teplok, limasan semar tinandhu, limasan trajumas lambang gantung, limasan trajumas, limasan trajumas lawakan, limasan lambangsari, dan limasan sinom lambang gantung rangka kuthuk ngambang. Ruangan dalam rumah limasan terbagi tiga, yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Ruang belakang dibagi menjadi sentong kiwo, sentong tengah, dan sentong tengen. Penambahan kamar biasanya ditempatkan di sebelah sentong kiwo ataupun sentong tengen. Bagi petani, sentong kiwo berfungsi untuk menyimpan alat-alat pertanian, sentong tengah untuk menyimpan hasil pertanian seperti padi dan ubi-ubian. dan sentong tengen digunakan untuk kamar tidur. Rumah Kampung Rumah kampung terdiri dari soko tiang yang berjumlah 4, 6 atau 8 dan seterusnya. Biasanya rumah jenis ini hanya memerlukan 8 soko. Atap terletak pada dua belah sisi atas rumah dengan satu bubungan atau wuwung. Dalam perkembangannya, rumah kampung mengalami banyak perubahan dan variasi sehingga muncullah aneka rumah kampung. Di antaranya adalah kampung pacul gowang, kampung srotong, kampung dara gepak, kampung klabang nyander, kampung lambang teplok, kampung lambang teplok semar tinandhu, kampung gajah njerum, kampung cere gancet, dan kampung semar pinondhong. Rumah Panggang-Pe Rumah panggang-pe merupakan bentuk rumah yang paling sederhana dan merupakan bangunan dasar. Inilah bangunan pertama yang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, udara dingin, air hujan, dan terik matahari. Bangunan sederhana ini hanya membutuhkan empat atau enam tiang. Di sekelilingnya ditegakkan dinding dari anyaman bambu atau papan. Karena amat sederhana, maka ruangannya hanya satu.
RumahAdat Yogyakarta Lengkap Gambar Dan Penjelasannya Seni Budayaku Makalah Rumah Adat Joglo Jawa Tengah Republika Rss Kebudayaan Jawa Tengah Lengkap Beserta Pakaian Dan Rumah Adat Top 10 Punto Medio Noticias Kliping Rumah Adat Joglo
Rumah Adat Yogyakarta – Yogyakarta merupakan wilayah yang kaya akan budaya, dimana budaya yang ada tidak akan pernah lepas dari sisi keindahannya. Salah satunya adalah rumah adat Yogyakarta yang bernama Bangsal Kencono, dimana rumah ini merupakan sebuah bangunan keraton Yogyakarta yang kata akan keunikan dan juga keindahan. Agar kita lebih mengenal rumah adat Yogyakarta Bangsal Kencono, yuk simak penjelasanya dibawah ini! Rumah Adat Bangsal Kencono Gambar Rumah Adat Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta Bangsal Kencono merupakan rumah adat yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I, tepatnya pada tahun 2757 Masehi dan digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai acara keagamaan dan juga kesultanan. Seperti misalnya apabila ada seseorang sultan yang akan naik tahta, maka upacara kesultanan akan dilakukan di rumah Bangsal Kencono ini. Rumah adat Bangsal Kencono adalah rumah adat yang berbentuk joglo dan dijadikan sebagai bangunan khas dari Keraton Yogyakarta. Dimana rumah ini mempunyai ukuran yang begitu besar dengan desain arsitektur yang masih mendapat pengaruh dari berbagai negara, diantaranya adalah Belanda, Portugis, hingga Cina. Tetapi, secara keseluruhan pengaruh budaya Jawa lah yang masih mendominasi bangunan dari rumah adat bangsal kencono ini Ciri Khas Rumah Bangsal Kencono Gambar Ciri Khas Rumah Bangsal Kencono Setiap rumah adat tentunya mempunyai keunikan dan juga ciri khas yang berbeda-beda dengan rumah adat yang lainnya. Hal ini juga berlaku pada rumah adat Yogyakarta bangsal Kencono, dimana ciri khas dari rumah adat ini adalah sebagai berikut. Ukuran Rumah Adat Bangsal Kencono Apabila dilihat dari segi ukuran, maka rumah adat Yogyakarta bangsal Kencono ini tentunya akan berbeda-beda. Ukuran rumah ini akan disesuaikan dengan kebutuhan dari pemiliknya. Misalnya apabila rumah adat ini dibangunin dengan tujuan digunakan sebagai bangunan Yogyakarta, maka rumah akan dibangun dengan ukuran yang khas dan besar, karena harus bisa menampung tamu-tamunya istana yang jumlahnya bisa mencapai ratusan hingga ribuan. Struktur Bangunan Rumah Adat Bangsal Kencono Bentuk atap dari rumah adat Yogyakarta bangsal kencono mirip dengan rumah joglo yang menggunakan atap tajug dan ditopang dengan menggunakan empat buah tiang. Gimana tiang yang ada pada bagian tengah bangunan ini disebut sebagai Soko guru. Rumah adat bangsal kencono dibangun dengan menggunakan bahan material yang tentunya berkualitas, seperti pada bagian atap yang menggunakan genting tanah. Kenapa menggunakan genting tanah dalam membuat rumah adat ini? Ternyata hal tersebut dikarenakan genting tanah mempunyai ketahanan yang baik terhadap panas, sehingga rumah akan terasa lebih sejuk. Empat tiang penopang dari rumah adat Yogyakarta ini dibuat dengan menggunakan bahan material umpak bagi yang berwarna keemasan. Sementara untuk bagian lantai nya akan menggunakan bahan material marmer atau granit. Ornamen Rumah Adat Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta bangsal kencono juga terdapat berbagai hiasan ornamen-ornamen yang unik dan akan disesuaikan dengan bagian dalam dan juga luar rumah. Apabila interior dihiasi dengan berbagai macam ukiran yang bernuansakan alam, maka area eksteriornya akan diletakkan berbagai macam pot bunga dan juga tanaman-tanaman hijau. Pada bagian halaman rumah terdapat sangkar burung yang akan semakin memperindah pemandangan. Keberadaan sangkar burung ini sebenarnya mempunyai tujuan tersendiri. Dimana filosofi dari sangkar burung yang berada di rumah adat Yogyakarta bangsal kencono mengartikan sebagai perwujudan berapa pentingnya hewan di sebuah rumah. Dalam budaya Jawa, kicauan burung merupakan pertanda akan sesuatu yang dekat dengan nuansa alam, sekaligus juga sebagai pemandu penghuninya agar senantiasa selalu menjaga kelestarian alam Bagian Utama Rumah Bangsal Kencono Gambar Bagian Rumah Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta bangsal kencono mempunyai bentuk yang cukup besar dan luas, dimana tentunya di dalam rumah ini akan terdapat berbagai susunan yang tidak sedikit. Secara garis besar, rumah adat bangsal kencono terbagi menjadi 3 bagian yang berbeda, yakni bagian depan, bagian inti dan juga bagian belakang. Berikut ini merupakan penjelasan dari setiap bagian-bagiannya. Bagian Depan Rumah Bangsal Kencono Bagian depan rumah adat ini tentunya terletak pada bagian yang paling depan. Dimana bagian depan juga terdiri dari beberapa bagian kecil yang lainnya, yakni sebagai berikut. Gladhag pangurakan Bagian ini merupakan gerbang utama yang digunakan sebagai pintu masuk ke dalam istana. Dimana posisi dari Gladhag pangurakan ini menghadap ke arah alun-alun lor Keraton Yogyakarta. Alun-alun lor Keraton Yogyakarta Bagian ini merupakan sebuah lapangan luas, dimana didalamnya terdapat dua pohon beringin kembar. Alun-alun ini akan digunakan sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam kegiatan upacara adat, baik itu upacara Sekaten, Suro dan Grebeg Merapi. Kata “lor” tersebut diartikan sebagai “Utara”. Masjid Gedhe Bagian ini merupakan bangunan berupa masjid gedhe yang digunakan sebagai tempat untuk beribadah umat Islam, terutama pada warga Keraton Yogyakarta. Letak dari ruangan ini berada di sisi barat dari alun-alun lor. Bagian Inti Rumah Bangsal Kencono Bagian inti dari rumah adat Yogyakarta ini terbagi menjadi banyak sub area dengan fungsi yang berbeda-beda. Dimana secara garis besar ruangan inti dari rumah ini mempunyai tujuh bagian, berikut ini bagian-bagiannya. Bangsal pagelaran Bagian bangsal pagelaran ini digunakan sebagai tempat para punggawa keraton Yogyakarta apabila mereka akan menemui raja, terutama pada saat upacara adat akan dilakukan Sitihinggil Bagian ini biasanya akan digunakan oleh para warga keraton Yogyakarta sebagai tempat untuk mengadakan upacara adat. Biasanya sultan akan berada pada tempat ini ketika upacara adat sedang berlangsung. Sitihinggil diambil dari kata “Siti” yang mempunyai arti “tanah” dan “Hinggil” yang mempunyai arti “tinggi”. Dimana penamaan tersebut dikarenakan ruangan ini mempunyai bagian tanah yang memang lebih ditinggikan dibandingkan dengan bagian yang lainnya lokasinya berada di sebelah selatan alun-alun lor. Kamandhungan ler Bagian ini merupakan bagian dari Siti Hinggil yang juga mempunyai berbagai bagian pendukung, seperti bangsal pancaniti, bangsal pecaosan dan juga bale anti wahana. Beberapa ada juga yang menyebut bagian ini sebagai plataran keben. Bangsal Srimanganti Tempat ini akan digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu dan juga dijadikan sebagai lokasi pementasan budaya. Dimana bangsal juga dilengkapi dengan pelataran srimanganti. Pada sisi timur bangsal srimanganti terdapat pula bangsal trajumas yang akan dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan barang pusaka milik Keraton Yogyakarta. Kedhaton Kedhaton merupakan bagian khusus yang digunakan sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan. Dimana bagian ini terdiri dari berbagai bagian lainnya yakni keputran yang digunakan sebagai tempat tinggal dari istri sultan, dan kesatria yang digunakan sebagai tempat tinggal putra raja. Kedhaton juga menjadi pusat kawasan dari rumah adat Yogyakarta bangsal kencono dan menjadi rumah dengan tingkatan paling tinggi apabila dibandingkan dengan bagian yang lainnya. Kemagangan Bagian ini biasanya dijadikan sebagai tempat untuk menerima abdi dalem, tempat belajar, tempat ujian dan juga digunakan sebagai tempat apel bagi para abdi dalem saat magang Siti Hinggil kidul Bagian ini biasanya akan digunakan sebagai tempat gladi resik upacara grebeg, tempat raja menyaksikan adu rampogan, tempat prajurit perempuan untuk berlatih dan juga dijadikan sebagai tempat prosesi awal upacara pemakaman para sultan yang akan dibawa menuju ke Imogiri. Bagian Belakang Rumah Bangsal Kencono Bagian terakhir dari rumah adat Yogyakarta adalah bagian belakang. Dimana pada bagian ini juga dibagi menjadi beberapa bagian yang lainnya. Berikut ini penjelasannya! Alun-alun kidul Alun-alun kidul berada pada bagian selatan keraton Yogyakarta. Dimana alun-alun ini juga sering digunakan sebagai pengkeran. Plengkung nirbaya Bagian ini biasanya akan dijadikan sebagai tempat poros utama untuk menuju ke tempat pemakaman Imogiri Bentuk dan Bahan Material Rumah Adat Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta bangsal Kencono mempunyai bentuk atap yang menggunakan desain dari rumah joglo. Bahan yang dipakai untuk pembuatan atap ini juga berupa genteng dari tanah atau sirap. Atap dari rumah ada ini akan ditopang dengan menggunakan empat tiang yang disebut dengan Soko guru. Dimana tiang-tiang itu terbuat dari bahan kayu dan diberikan warna tambahan yakni warna hijau atau warna hitam. Sedangkan pada bagian bawahnya, tiang-tiang ini akan ditopang lagi dengan menggunakan umpak batu. Umpak batu inilah yang dinilai sangat ampuh dan juga tahan terhadap goncangan gempa. Pada bagian dinding rumah menggunakan bahan material kayu dengan kualitas yang tinggi, seperti kayu jati dan juga lagi nangka. Pemilihan kayu yang tinggi ini bertujuan agar rumah mampu bertahan lama. Sedangkan untuk bagian dari lantai rumah juga tidak lagi menggunakan bahan material kayu, melainkan menggunakan marmer atau granit. Fungsi Rumah Adat Bangsal Kencono Seperti yang sudah kita tahu, karena rumah adat ini masih berada pada kawasan keraton Yogyakarta, maka fungsi dari rumah adat ini tidak akan jauh berbeda dari kepentingan keraton. Dimana rumah ini bisa dijadikan sebagai tempat tinggal bagi para anggota keraton Yogyakarta, termasuk juga raja dan abdi keraton. Fungsi yang lainnya adalah rumah ada ini juga bisa digunakan sebagai tempat untuk pertemuan antara raja dengan tamu pentingnya. Bukan hanya itu, rumah adat ini juga bisa digunakan sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam upacara adat dan juga upacara keagamaan. Dari beberapa fungsi di atas maka dapat diketahui bahwa rumah adat Yogyakarta mempunyai beragam fungsi, sehingga rumah adat ini termasuk ke dalam rumah adat yang serbaguna. Orang juga bertanya Apa saja rumah adat? Apa senjata tradisional Yogyakarta? Apa ciri khas rumah Yogyakarta? Penutup Demikianlah pembahasan mengenai rumah adat Yogyakarta Bangsal Kencono. Dimana pembahasan ini dimulai dari pembahasan sejarah, ciri khas, bagian utama, bentuk dan bahan material serta fungsi dari rumah adat Yogyakarta. Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan tentunya bisa menambah wawasan para pembaca dalam mengenal rumah adat Bangsal Kencono yang berasal dari Yogyakarta. Semoga tulisan ini juga dapat dipahami dengan baik. Rumah Adat YogyakartaSumber Refrensi
ThePage Description. Dec 03, 2017 0183 32 34 Keanekaragaman masakan khas daerah yang ada di Indonesia Wajib Anda Cicipi Indonesia adalah negara yang sangat luas dan memiliki berbagai keanekaragaman budaya yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya Begitu juga dengan hal kuliner yang setiap daerah memiliki makanan khas daerahnya masing-masing Berikut ini adalah daftar makanan daerah
Bicara mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta, ada banyak hal menarik yang bisa dikulik dari kota tersebut. Salah satunya adalah sejumlah upacara adat khas Yogyakarta, yang masih tetap dilaksanakan hingga hari ini. Lantas, apa saja upacara adat yang masih eksis di Jogja? Selain terkenal dengan tempat wisatanya yang indah, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota yang memiliki banyak aneka macam kebudayaan dan adat istiadat yang masih sangat kental. Di zaman yang semakin maju dan modern ini, ternyata beberapa upacara adat ini pun masih bisa Anda temukan di beberapa daerah di Yogyakarta. Bahkan beberapa upacara adat tersebut berhasil menjadi daya tarik bagi wisatawan. Pasalnya tidak hanya unik, tetapi para wisatawan juga dapat menambah ilmu tentang tradisi di suatu tempat. Biasanya, upacara adat ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali. 10 Upacara Adat Khas Yogyakarta 1. Upacara Sekaten Upacara Sekaten merupakan sebuah tradisi yang diperuntukkan untuk merayakan hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW dan biasa diadakan setiap tanggal 5 bulan Rabiul Awal tahun hijriah bulan Jawa mulud di alun-alun utara Yogyakarta dan Surakarta. Awal mulanya, Sekaten diadakan oleh Pendiri Keraton Yogyakarta, yaitu Sultan Hamengkubuwono 1 untuk mengundang masyarakat Jogja untuk mengikuti dan memeluk agama Islam. Upacara ini dimulai saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem keraton bersama dengan lantunan musik dari dua set Gamelan Jawa Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Sebagai informasi, Upacara Sekaten ini dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut, atau tepatnya sampai tanggal 11 bulan Jawa mulud. Dan kedua set gamelan ini akan terus dimainkan sampai acara berakhir. Artikel Terkait 5 Upacara Pemakaman Termahal di Indonesia 2. Upacara Grebeg Muludan Setelah berakhirnya Upacara Sekaten, masyarakat Yogyakarta langsung melaksanakan Upacara Grebeg Muludan pada tanggal 12 bulan mulud atau 12 Rabiul Awal. Upacara ini diadakan sebagai wujud syukur atas kemakmuran yang diberikan oleh Tuhan. Dalam prosesi upacara ini, Anda juga akan melihat iring-iringan abdi dalem keraton yang membawa gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, buah-buahan, hingga sayur-sayuran. Nantinya, gunungan tersebut akan dibawa dari Istana Kemandungan menuju ke Masjid Agung. Para masyarakat di sana percaya bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah untuk mereka. Maka tak heran, banyak orang yang berlomba-lomba untuk mengambil bagian gunungan yang dianggap sakral. Kemudian, mereka akan menanamnya di sawah ladang miliknya. 3. Upacara Tumplak Wajik Dua hari sebelum perayaan Grebeg, Upacara Tumpak Wajik dilaksanakan terlebih dulu di halaman Magangan Kraton Yogyakarta pada pukul sore. Acara ini menandai dimulainya proses pembuatan gunungan, simbol sedekah raja kepada rakyat. Pada saat prosesi Tumplak Wajik berlangsung, sejumlah abdi dalem turut mengiringi dengan suara tetabuhan dari lesung, alat tradisional yang biasa digunakan untuk mengolah padi menjadi beras. Begitu prosesi Tumplak Wajik selesai, barulah Upacara Grebeg Muludan bisa dilaksanakan pada hari berikutnya. 4. Upacara Siraman Pusaka Upacara Siraman Pusaka Kraton merupakan tradisi untuk memandikan setiap pusaka milik Ngarsa Dalem atau milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Biasanya, upacara ini dilaksanakan selama dua hari pada bulan Sura dan bersifat tertutup. Dengan kata lain, upacara adat khas Yogyakarta ini tidak bisa disaksikan masyarakat umum. Pusaka yang dibersihkan pun bermacam-macam, mulai dari tombak, keris, pedang, kereta, ampilan, dan masih banyak lagi. Bagi Kraton Yogyakarta, pusaka paling penting adalah tombak Ageng Plered, Keris Ageng Sengkelat, dan Kereta Kuda Nyai Jimat. Artikel Terkait Melasti Makna, Asal Usul dan Tata Cara Pelaksanaan Upacara Melasti 5. Upacara Labuhan Upacara Labuhan merupakan salah satu upacara adat yang dilakukan oleh raja-raja di Keraton Yogyakarta dan sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke XIII hingga sekarang. Upacara ini dilaksanakan dengan tujuan meminta keselamatan, ketentraman, dan kesejahteraan masyarakat serta Kraton Yogyakarta sendiri. Selain itu, Upacara Labuhan juga dilaksanakan di empat lokasi yang berbeda, yakni Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kahyangan. Dan upacara adat ini juga dilakukan setiap delapan tahun sekali. Dalam prosesinya, banyak perlengkapan yang harus disiapkan. Mulai dari gunungan, kain batik, rambut, kuku milik Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun, hingga sejumlah abdi dalem. Kemudian benda-benda milik Sri Sultan tersebut akan dihanyutkan. Dan masyarakat diperbolehkan untuk mengambil benda Labuhan tersebut. 6. Upacara Nguras Enceh Upacara Nguras Enceh menjadi upacara adat khas Yogyakarta yang sayang untuk dilewatkan. Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Sura dalam kalender jawa dan diikuti oleh abdi dalem Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Dan dilaksanakan bertepatan dengan hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Tujuan dari upacara adat ini adalah untuk membersihkan diri dari hati yang kotor. Upacara ini diawali dengan membersihkan empat gentong di makam para Raja Jawa di daerah Imogiri, Bantul, Jawa Tengah. Empat gentong tersebut diantaranya adalah Nyai Siyem dari Siam, Kyai Mendung dari Turi, Kyai Danumaya yang berasal dari Aceh, dan Nyai Danumurti dari Palembang. Air dari keempat gentong tersebut dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan menghilangkan kemalangan bagi siapa saja yang mengikuti Upacara Nguras Enceh itu. Artikel Terkait Tradisi Bakar Tongkang, Upacara Bakar Kapal Kayu dari Bagan Siapi-api 7. Upacara Saparan Upacara Saparan atau disebut juga Bekakak ini diadakan oleh masyarakat Desa Ambarketawang, yang terletak di Kecamatan Gamping, Sleman setiap hari Jumat di bulan Sapar. Upacara adat ini dilaksanakan dengan penyembelihan Bekakak, yang artinya korban penyembelihan hewan atau manusia. Namun untuk upacara adat ini hanya menggunakan tiruan manusia saja, yaitu sepasang boneka pengantin jawa yang terbuat dari tepung ketan. Tujuan awal dilaksanakannya Upacara Saparan ini adalah untuk menghormati arwah Ki Wirasuta dan Nyi Wirasuta sekeluarga. Mereka adalah abdi dalem Hamengkubuwono 1 yang disegani. Kemudian pada akhirnya berubah, kini upacara adat itu bertujuan untuk memohon keselamatan masyarakat agar terhindar dari segala bencana. 8. Upacara Rebo Pungkasan Wonokromo Pleret Upacara Rebo Pungkasan adalah upacara adat yang masih terus dilaksanakan oleh masyarakat di desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Diberi nama Rebo Pungkasan karena dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Sapar. Upacara Rebo Pungkasan ini bertujuan untuk mengungkap rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa YME. Dahulu, upacara ini dilaksanakan di depan masjid dan seminggu sebelum acara sudah banyak diadakan acara meriah, seperti pasar malam. Namun, karena banyak yang menilai prosesi ini mengganggu orang yang sedang beribadah, maka Upacara Rebo Pungkasan ini dipindahkan ke depan Balai Desa di lapangan Wonokromo. 9. Upacara Adat Pembukaan Cupu Ponjolo Upacara Adat Pembukaan Cupu Ponjolo ini diadakan setiap Pasaran Kliwon di penghujung musim kemarau pada bulan Ruwah berdasarkan kalender Jawa. Orang-orang di Desa Mendak Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY masih melaksanakan upacara adat ini sampai sekarang. Cupu Ponjolo diketahui adalah tiga buah cupu keramat yang disimpan dalam kotak kayu berukuran 20 x 10 x 7 cm dan dibungkus menggunakan ratusan lembar kain mori. Tujuan dari upacara adat ini sebenarnya adalah untuk membuka dan mengganti pembungkus cupu tersebut. Menariknya, banyak masyarakat yang percaya bahwa setiap gambar yang terlukis di kain mori pembungkus cupi itu adalah bentuk ramalan peristiwa setahun ke depan. 10. Upacara Jamasan Kereta Pusaka Terakhir, upacara adat yang masih dilaksanakan di Yogyakarta sampai hari ini adalah Upacara Jamasan Kereta Pusaka. Upacara ini biasa digelar di Museum Keraton Yogyakarta pada setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di bulan Suro. Tujuan dari Upacara Jamasan adalah untuk merawat dan membersihkan benda-benda pusaka milik Keraton Yogyakarta, seperti Kereta, Gamelan, Keris, Tombak, dan lain-lain. Menariknya, banyak warga berlomba-lomba untuk mendapatkan air cucian bekas dari benda pusaka tersebut, karena percaya air tersebut bisa mendatangkan keberkahan dan keberuntungan. Itulah upacara adat di Yogyakarta yang masih tetap terjaga sampai hari ini. Parents, pernah mengikuti salah satu upacara tersebut? *** Baca juga Upacara Kerik Gigi, Tradisi Menyakitkan Suku Mentawai demi Tampil Cantik Berlangsung Meriah, Inilah Tradisi Upacara Pemakaman Rambu Solo dari Toraja Mengenal Keunikan Tradisi Mekotek Asal Bali, Upacara Tolak Bala Warga Pulau Dewata Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.
TarianDaerah Yogyakarta dan Penjelasannya. 3 Desember 2021 3 Mei 2021 oleh Redaksi. Yogjakarta, daerah yang memiliki sejuta keistimewaan seperti halnya nama yang dimilikinya. Dimana terdapat ciri khas seorang raja yang lengkap dengan mahkotanya. Beberapa sumber juga menyatakan bahwa pemberian nama untuk tarian tersebut diinspirasi oleh
Yogyakarta atau "Jogja" merupakan sebuah kota kecil di sebelah selatan Pulau Jawa yang berpredikat kota pelajar. Selain menyandang predikat kota pelajar, Yogyakarta juga pantas disebut sebagai kota budaya karena masyarakat di kota ini masih sangat menjunjung tinggi adat dan budaya yang mereka miliki. Berbagai ragam kesenian tradisional masih terus digelar dan dilestarikan oleh seniman-seniman di Provinsi Yogyakarta ini. Kesenian khas yogyakarta tidak hanya ditampilkan pada hari-hari tertentu saja. Namun, masih banyak kesenian-kesenian khas yang ditampilkan oleh masyarakat Yogyakarta untuk memeriahkan berbagai upacara adat, seperti pernikahan, khitanan, kelahiran, dan upacara adat lainnya. Kesenian Tradisional Yogyakarta Berikut ini beragam kesenian khas yogyakarta yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta serta penjelasannya. 1. Wayang Kulit Wayang kulit merupakan kesenian tradisional yang sudah berusia ratusan tahun. Dalam pertunjukan wayang kulit, penonton dapat menyaksikan dari arah depan atau dari arah belakang. Dari belakang, penonton akan melihat bayang-bayang wayang dari dalam kelir tirai kain putih untuk menangkap bayang-bayang wayang kulit. Bayang-bayang inilah yang mungkin menjadi cikal bakal lahirnya istilah wayang yang berarti bayang-bayang. Selain itu bayang-bayang ini ditafsirkan bahwa cerita dalam pewayangan mencerminkan bayang-bayang kehidupan manusia di dunia. Wayang kulit gaya Yogyakarta mempunyai tampilan fisik yang berbeda dengan wayang dari daerah lain. Perbedaannya terletak pada beberapa hal; wayang gaya Yogyakarta terkesan dinamis atau terlihat bergerak, ditandai dengan tampilan posisi kaki yang melangkah lebar seperti orang yang sedang melangkah; tampilan bentuk luarnya lebih tambun dan tidak terkesan kurus; tangannya sangat panjang hingga menyentuh kaki; serta tatahannya inten-intenan, terutama pada pecahan uncal kencana, sumping, turido, dan bagian busana lainnya. Dilihat dari sunggingannya lukisan/ perhiasan yang diwarnai dengan cat, digunakan sunggingan tlacapan atau sunggingan sorotan, yaitu unsur sungging yang berbentuk segitiga terbalik yang lancip-lcncip seperti bentuk tumpal pada motif kain batik; dan di bagian siten-siten atau lemahan, yaitu bagian di antara kaki depan dan kaki belakang, umumnya diberi warna merah. Untuk mengetahui wayang gaya Yogyakarta, ditentukan dari jenis mata wayang. Bentuk hidung wayang, mulut wayang, bentuk mahkota, jenis pemakaian kain dodot dan posisi kaki, serta atribut lainnya merupakan beberapa atribut yang perlu diperhatikan untuk mengenal wayang Yogya. 2. Wayang Wong Sesuai dengan namanya, kesenian ini menggunakan wong orang sebagai pemainnya. Wayang wong berbeda dengan wayang kulit yang menggunakan wayang dari kulit sebagai alat peraganya. Wayang wong adalah suatu seni drama yang menggabungkan antara seni dialog dan seni tembang. Wayang wong pertama kali diciptakan oleh Mangkunegara I yang berkuasa dari tahun 1757 sampai tahun 1795. Pemain-pemain wayang wong adalah para abdi dalem keraton sendiri. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V, pada tahun 1881, pagelaran wayang wong semakin hidup dan dianggap sebagai hiburan. Selanjutnya wayang wong berkembang menjadi wayang wong gaya Surakarta dan wayang wong gaya Yogyakarta. Wayang wong gaya Yogyakarta pertama kali muncul pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwo no VII yang bertakhta dari tahun 1878 sampai tahun 1921. Dahulu kala, wayang wong hanya dipentaskan di lingkungan keraton, yaitu di Baluwerti. Para pemainnya adalah pangeran dan keluarga keraton sen- diri. Kesenian ini merupakan ajang ekspresi kehalusan budi, keterampilan tari, dan bela diri. Semua pemainnya laki-laki. Bahkan, tokoh wanita pun dimainkan oleh laki-laki. Perbedaan antara wayang wong gaya Surakarta dan Yogyakarta terletak pada penggunaan kethok dan kecrek serta dalang untuk suluk nyanyian atau tembang dalang yang dilakukan ketika akan memulai adegan di pertunjukan wayang dan menceritakan adegan yang silih berganti untuk gaya Surakarta. Adapun gaya Yogyakarta hanya menggunakan keprak bunyi-bunyian pengiring gerakan serta pembaca kandha yang bukan merupakan dalang. Pada gaya Surakarta, cengkok atau lagu percakapan nampak lembut merayu, sedangkan gaya Yogyakarta terlihat datar dan melankolik. Dalam gaya Surakarta, tarian terlihat luwes sedangkan dalam gaya Yogyakarta tarian tampak lebih gagah, trengginas lincah, dan memikat. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V 1822-1855 dipergelarkan tidak kurang lima cerita, yakni Pragolomurti, Petruk Dadi Ratu, Rabinipun Angkawijaya, Joyosemadi, dan Pregiwo-Pregiwati. Pada periode pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII 1877-1921 hanya dua kali pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pregiwo-Pregiwati. Wayang wong mencapai popularitasnya pada saat Sri Sultan HB VIII berkuasa. Pada masa itu digiatkan pembaruan dan penyempurnaan besar-besaran pada tata busana, teknik, ragam gerak tari, dan kelengkapan pentas. Proyek ini melibatkan empu tari KRT Joyodipuro, KRT Wiroguno, GPH Tejokusumo, KRT Wironegoro, BPH Suryodiningrat, dan KRT Purboningrat. Selama periode 1921- 1939 ini tidak kurang 20 lakon wayang wong dipentaskan. 3. Ketoprak Surakarta tahun 1898. Wabah pes merajalela dan meminta banyak korban jiwa. Banyak orang yang dirawat dibarak-barak darurat. Untuk menghibur rakyat yang sedang menderita, KRT Wreksadiningrat segera mengerahkan para abdi untuk merawat dan mempersembahkan hiburan kesenian. Mereka membawa lesung untuk ditabuh disertai dengan tarian dan nyanyian. Beberapa seniman mengembangkan ketoprak lesung tersebut dengan menambah instrumen musik, seperti siter alat musik petik yang berdawai, bentuknya menyerupai kecapi Sunda, gender gamelan Jawa yang dibuat dari bilah bilah logam berjumlah empat belas dengan penggema dari bambu, kendang dan genjring rebana kecil yang dilengkapi dengan kepingan logam bundar pada bingkainya. Mereka mulai manggung di luar tembok keraton dengan memakaı kostum ala Turki atau Arab dan mengambil cerita rakyat Jawa. Dialognya dinyanyikan sambil menari. Ketoprak lesung dari Solo untuk pertama kalinya dipentaskan di Yogyakarta pada tahun 1900, yaitu sebagai hiburan dalam rangka memeriahkan perkawinan agung KGPAA Paku Alam VII dengan RA Puwoso, putri Sunan Pakubuwono X. Sejak saat itu ketoprak berkembang di Yogyakarta. 4. Dagelan Mataram Dagelan Mataram adalah pertunjukan humor atau lawak yang dialognya menggunakan bahasa Jawa. Kesenian ini berkembang di wilayah Yogyakarta. Jenis lawakan ini populer di Yogyakarta sekitar tahun 1950-an. Cerita yang dipentaskan dalam dagelan Mataram biasanya cerita sederhana dan dekat dengan kehidupan masyarakat desa. Misalnya, konflik rumah tangga yang kemudian dapat diselesaikan secara adil. Intrik-intrik dalam konflik itulah yang dibumbui dengan dagelan segar. Makna dibalik dagelan sederhana itulah yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Melalui dagelan, kritik atas sesuatu yang melenceng dapat diungkapkan tanpa menyinggung perasaan seseorang. Di tahun 70-an dikenal pemain dagelan Mataram yang cukup populer, yaitu Basıyo. Beberapa kaset dagelannya beredar di masyarakat, seperti Besanan, Dadung Kepuntir, Degan Wasiat, Gatutkaca Gandrung, Kapusan, Maling Kontrang-Kantring, mBecak, mBlantik Kecelik, Midang, Ngedan, Pangkur Jenggleng, dan Gandrung. Bersama sang istri, Darsono, dan Arjo, Basiyo mengemas dagelan Mataram menjadi segar dan kocak. Di era 1990-an, dagelan Mataram mulai menghilang dari masyarakat. Kesenian jenaka ini tergeser oleh jenis kesenian lain yang lebih baru semisal campursari dan dangdutan. 5. Wayang Beber Pertunjukan wayang beber dilakukan dengan pembacaan cerita atau gambar yang melukiskan kejadian atau adegan yang terlukis pada kertas. Pada saat ini, pertunjukan wayang beber dapat dikatakan sudah punah karena lukisan mengenai wayang tersebut tidak dibuat lagi. Wayang beber termasuk wayang yang paling tua usianya. Ia berasal dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mulanya, wayang beber berkisah tentang cerita Mahabharata kemudian beralih ke cerita Panji dari Kerajaan Jenggala pada abad XI dan mencapai jayanya pada zaman Majapahit sekitar abad XIV-XV. Ketenaran wayang ini memudar sejak zaman Mataram. Salah satu wayang beber yang tersisa ditemukan di Desa Gelaran, Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, yang terletak 47 km sebelah tenggara kota Yogyakarta. Wayang beber tersebut dinamai wayang beber Kyai Remeng, milik Ki Sapar Kromosentono yang merupakan ahli waris ketujuh. Menurut cerita rakyat di sana, wayang beber tersebut dibuat dalam rangka peringatan tujuh bulan dalam kandungan Sultan Hadiwijaya 1546-1586 yang terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir. Di Jawa dinamakan mitoni. Setelah Jaka Tingkir dinobatkan sebagai raja Pajang, Kyai Remeng dijadikan pusaka kerajaan dan kemudian diwariskan ke Mas Ngabehi Saloring Pasar yang bergelar Panembahan Senopati, putra angkatnya. Di kemudian hari Kyai Remeng menjadi pusaka Keraton Mataram. Hingga saat ini, wayang beber Kyai Remeng dianggap sebagai benda pusaka oleh keluarga Ki Sapar Kromosentono. Setiap malam Jumat, benda keramat ini diselamati dengan sesaji. 6. Tayub Tayub berasal dari kata mataya yang berarti tarian dan guyub yang berarti rukun. Jika digabungkan berarti tarian kerukunan atau tarian persahabatan. Di Yogyakarta juga ada semacam tayub yang disebut beksan pangeranan. Seorang penari bisa ditemani seorang teledek atau beberapa teledek secara bersamaan. Saat gamelan berhenti, baru minuman disajikan. DahuIukala, tarian tayub hanya dilakukan oleh kerabat bangsawan yang memang telah mahir menari. Disebutkan dalam Serat Centhini, pada awal abad XIX putra Sunan Giri III melakukan pengembaraan ke seantero Jawa. Waktu tiba di Desa Kepleng, ia menyaksikan penduduk gemar bermain tabuh-tabuhan dan dilanjutkan dengan tayuban dengan perempuan bernama Gendra. Dalam membawakan tarian, Gendra begitu memukau penonton sehingga merangsang mereka untuk menari bersamanya. Akibat mereka saling berebut untuk bisa menari bersama Gendra, tidak jarang terjadi ketegangan, percekcokan, dan bahkan perkelahian. Gendra memang berarti si pembuat onar. Tayub yang berkaitan dengan ritus kesuburan masih ada di daerah Semin, Gunung Kidul. Tayub diadakan dalam rangka perayaan datangnya Dewi Sri, dewi kesuburan. Awalnya teledek menari dengan diiringi gending Sri Boyong, agar Dewi Sri hadir di antara mereka untuk melindungi petani dari segala hama tanaman. Kemudian dilanjutkan dengan gending Sri Katon untuk menghormati Dewi Sri yang sudah hadir di antara mereka. Setelah gending Rujak Jeruk, maka para penonton bersuka cita menari bersama teledek.
2k68cjr.
  • 2n622bjlsp.pages.dev/306
  • 2n622bjlsp.pages.dev/307
  • 2n622bjlsp.pages.dev/451
  • 2n622bjlsp.pages.dev/436
  • 2n622bjlsp.pages.dev/345
  • 2n622bjlsp.pages.dev/464
  • 2n622bjlsp.pages.dev/312
  • 2n622bjlsp.pages.dev/293
  • kebudayaan yogyakarta lengkap beserta gambar dan penjelasannya